Kamis, 11 Agustus 2011

Bioindikator Upwelling Laut Banda

Oleh: Hanung Agus Mulyadi

Staf Peneliti LIPI Ambon

Seiring dengan adanya program pemerintah yang akan menjadikan Maluku sebagai lumbung ikan nasional, maka sudah seharusnya kita berbenah untuk melengkapi segala sarana dan prasarana termasuk regulasi (peraturan) dan infrastruktur pendukung. Terlepas dari pro dan kontra tentang belum (masih dalam proses) menuju kesiapan program tersebut, saya tergerak untuk ikut menyuarakan tentang fenomena menarik dan berlangsung secara dinamis di sekitar perairan kita yaitu proses upwelling yang terjadi di Laut Banda.

Secara umum, Perairan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh iklim yang terdiri dari musim barat (Desember-Februari), musim peralihan I (Maret-Mei), musim timur (Juni-Agustus), dan musim peralihan II (September-November) sehingga akan berpengaruh terhadap organisme yang hidup didalamnya termasuk kondisi perairan itu sendiri yang terkadang pada waktu tertentu mengalami proses upwelling.

Proses upwelling

Upwelling adalah proses naiknya massa air laut yang dapat berlangsung pada waktu tertentu. upwelling akan terjadi apabila angin berhembus secara terus-menerus di sepanjang pantai dengan kecepatan tertentu sehingga menyebabkan massa air pantai yang bersuhu hangat (28-290C) di sekitar permukaan akan bergerak ke arah laut lepas. Kekosongan massa air di permukaan ini selanjutnya akan diisi oleh naiknya massa air yang lebih dingin (25-270C) dari lapisan dibawahnya (biasanya kaya akan unsur hara) yang penting untuk kehidupan plankton. Zooplankton merupakan kelompok plankton hewani yang sangat beragam, terdiri dari bermacam-macam larva dan bentuk dewasa yang mewakili hampir seluruh filum hewan. Salah satu kelompok zooplankton yang penting adalah Kopepoda (Copepoda). Kopepoda merupakan krustasea holoplanktonik berukuran kecil yang pada umumnya mendominasi zooplankton di perairan.

Bioindikator upwelling Laut Banda

Dengan mempelajari proses rantai makanan (food chain) dan keberadaannya, zooplankton dapat digunakan sebagai bioindikator terjadinya proses upwelling. Beberapa jenis kopepoda biasa digunakan sebagai bioindikator dalam menentukan lokasi upwelling di perairan dunia, contohnya: Calanus pacificus dan Calanus marshallae merupakan bioindikator upwelling di perairan lepas pantai California dan Oregon, Amerika Serikat.

Salah satu lokasi upwelling di Perairan Indonesia adalah Laut Banda, dimana fenomena upwelling ini pernah dilaporkan oleh Wyrtki (1958) dengan menggunakan data suhu dan salinitas air. Di perairan Indonesia setidaknya ada dua jenis kopepoda laut dalam yang dikenal sebagai bioindikator upwelling yaitu Calanoides philippinensis dan Rhincalanus nasutus. Pada saat musim upwelling berlangsung, biasanya berawal pada musim timur, keberadaan zooplankton (nauplius dan kopepodit) dari kedua jenis kopepoda ini sangat melimpah di lapisan permukaan air. Sebaliknya bentuk dewasanya sangat jarang ditemukan. Mereka akan menimbun lemak sebanyak mungkin dari fitoplankton, nauplius maupun detritus yang dikonsumsi untuk pertumbuhan dan cadangan makanan pada saat downwelling (turunnya massa air laut ke lapisan bawah). Menjelang berakhirnya musim upwelling, pada saat stok makanan di permukaan mulai menipis, sebagian besar anakan (kopepodit V) dari kedua jenis kopepoda tersebut akan menyelam ke kedalaman 300-500 meter atau lebih. Di lapisan kedalaman ini, kopepodit V akan beristirahat (resting state), mengurangi metabolisme dan aktivitasnya tanpa makan selama 5-6 bulan dan tetap bertahan sebagai kopepodit V menunggu sampai musim upwelling berikutnya. Ketika musim upwelling tiba kopepodit V ini berenang kembali ke lapisan dekat permukaan untuk menjadi dewasa, kawin dan bertelur.

Teluk Ambon

Proses upwelling di Laut Banda, diduga ikut berpengaruh terhadap kondisi perairan di Teluk Ambon. Dimana kita ketahui bahwa Teluk Ambon bagian luar berhadapan langsung dengan Laut Banda sehingga bukan tidak mungkin pengaruh tersebut juga terjadi di sekitar Teluk Ambon. Hal ini dapat diindikasikan dengan banyaknya keberadaan naupli dan kopepodit dari Calanoides dan Rhincalanus di lapisan permukaan Teluk Ambon bagian luar pada musim peralihan I dan musim timur (Maret-Agustus). Semoga dengan kita mengetahui adanya fenomena upwelling di perairan Laut Banda, dimana proses terjadinya dapat diindikasikan dengan adanya bioindikator dari kelompok plankton tertentu, dapat digunakan sebagai informasi yang bermanfaat untuk mendukung terwujudnya Maluku sebagai lumbung ikan nasional.

Publikasi: Ambon Ekspres 22 Oktober 2010

Mengenal Dunia Plankton Lebih Dekat Sejak Dini!!...

Oleh:

Hanung Agus Mulyadi

Staf Peneliti LIPI Ambon

Hampir duapertiga dari luas permukaan bumi ini komponen penyusunnya adalah air. Negara kita, Indonesia, merupakan Negara kepulauan dengan sebagian besar wilayah geografisnya berbatasan langsung dengan laut. Di Maluku sendiri, yang merupakan daerah kepulauan, begitu kita bangun pagi lalu membuka pintu rumah terbentang pemandangan laut yang begitu indah. Tapi, tahukah anda jika ada seorang anak kecil datang dan bertanya kepada anda”Bapak atau ibu, apa sih yang paling banyak hidup di laut itu?’’

Spontan, disadari atau tidak, kebanyakan dari kita tentu akan menjawab’’ikan”, begitulah kira-kira jawaban yang sering terlintas dalam benak kita dan terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ikan memang terdapat dalam jumlah yang banyak atau boleh dibilang “melimpah” di laut ini. Masyarakat Maluku sendiri sudah tidak asing dengan bermacam-macam jenis ikan, sebut saja ikan Puri (Stelophorus heterolobus), dan ikan kakap merah (Lujtanus) atau “Red Snapper”, banyak ditangkap oleh nelayan kemudian dijual di pasar-pasar. Tapi, pernahkah anda bertanya dalam hati ”benar apa tidak ya jawaban saya tadi?”,tidak salah memang, tapi ada pendekatan jawaban yang sekiranya lebih tepat yaitu plankton.

Plankton? hewan apa tumbuhan? kok bisa jumlahnya lebih banyak dari ikan? Sebagian besar dari kita sudah tahu atau paham betul tentang plankton dan kehidupannya, tetapi, tidak sedikit juga yang asing mendengar istilah “plankton”. Plankton adalah organisme (tumbuhan dan hewan) yang hidupnya melayang atau mengambang dalam air dan pergerakaannya dipengaruhi oleh arus. Jadi, plankton dapat berupa tumbuhan yang biasa disebut “fitoplankton” dan plankton hewan atau”zooplankton”, dan jumlahnya tentu jauh lebih banyak daripada ikan. Ilustrasi sederhananya adalah, “ketika seorang nelayan memasukkan (menebar) jaring ikan di Teluk Ambon kemudian setelah 2 jam jaring diangkat dan didapat 500 ekor ikan puri, setelah itu nelayan kembali memasukkan jaring plankton (plankton net, jaring dengan ukuran mata jaring sangat kecil yang dilengkapi botol untuk menampung air pada bagian terakhirnya) sekitar 10 menit saja lalu diangkat dan air yang tertampung di masukkan ke dalam botol, dapat diperoleh jutaan atau bahkan puluhan juta fitoplankton (diamati menggunakan: mikroskop). Itulah fakta yang menarik bahwa 500 ekor ikan Puri yang diperoleh adalah jumlah yang banyak, tapi dari satu 1 liter botol air yang diperoleh saja, di dalamnya dapat hidup jutaan fitoplankton. Anda bisa membayangkan berapa juta atau milyar atau bahkan triliun plankton baik fitoplankton maupun zooplankton yang hidup di Teluk Ambon.

Banyaknya jumlah plankton di laut tidak terlepas dari peranannya yang sangat penting, dimana fitoplankton mampu menghasilkan sumber energi (melalui proses fotosintesis) yang secara langsung atau tidak langsung dibutuhkan oleh semua mahluk hidup melalui proses rantai makanan (food chain) dalam suatu ekosistem yang kompleks. Fitoplankton dikonsumsi oleh zooplankton, kemudian berlanjut dimakan oleh ikan. Fakta yang menarik adalah sekitar 65% ikan pelagis di dunia yang mempunyai nilai ekonomis adalah pemakan plankton, dan, hal lain yang juga menarik adalah hewan terbesar di dunia yaitu jenis ikan Paus biru (Balaenoptera physalus), makanan utamanya adalah zooplankton kecil dari jenis Euphasia superba yang lebih dikenal dengan istilah “Krill”. Secara ekologis (aspek lingkungan), peranan plankton tidak kalah penting. Dimana dalam proses fotosintesa, fitoplankton mampu menyerap gas CO2 (karbondioksida) dari atmosfer dan menghasilkan oksigen. Kemampuan fitoplankton menyerap gas karbondioksida dalam jumlah besar ini, menurut hasil riset terkini, ikut berperan dalam mengendalikan iklim global.

Tidak terlepas dari peranan plankton yang sangat penting, hal lain yang perlu diketahui adalah adanya jenis plankton yang berbahaya apabila keberadaannya dalam suatu perairan mengalami ledakan populasi (blooming). Kejadian red tide pernah dilaporkan di Teluk Ambon sekitar bulan Juli 1994, ditandai dengan perubahan warna air laut yang kemerah-merahan. Fitoplankton dari jenis Pyrodinium bahamensa selain mengalami blooming di Teluk Ambon juga blooming di Teluk Kao sekitar bulan Maret 1994 sehingga dapat mengganggu sektor perikanan (Wiadnyana, 1994).

Besarnya peranan plankton dalam mendukung kehidupan secara umum dan sektor perikanan secara khusus, sekiranya perlu mendapatkan perhatian yang besar dari kita semua. Pengenalan sejak usia dini kepada anak-anak tentang “dunia plankton dan teman-temannya serta peranannya” senantiasa harus diajarkan agar terbentuk pemahaman awal yang baik dengan bahasa anak-anak yang lugas dan mudah dimengerti oleh mereka. Terlintas dalam benak saya serial kartun “SpongeBob SquarePants”, dimana diantara tokoh utamanya ada yang bernama sheldon Plankton” digambarkan sebagai tokoh antagonis, pemilik rumah makan chum backet yang sepi akan pengunjung sehingga berusaha mencuri resep masakan dari restoran yang ramai. Dia meyakini kalau berhasil mencuri resep maka restorannya akan ramai pengunjung, meski segala upayanya tersebut tidak pernah berhasil. Hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dari pendampingan kita terhadap anak-anak tentu bukan “sifat antagonis atau usaha mencuri resep”, tapi penjelasan yang kita berikan tentang sosok “Sheldon plankton itu sendiri.

Sheldon plankton” menurut pemahaman saya, kurang lebih menggambarkan sosok zooplankton yang biasa disebut kopepoda (Copepoda), yaitu zooplankton yang mempunyai kaki renang sehingga sewaktu-waktu dapat berenang, dan mempunyai dua pasang antenna (Copepoda berasal dari istilah Yunani, Cope “dayung” dan poda “kaki”). Ada banyak jenis kopepoda beberapa diantaranya Undinula, Calanus, Centropages dan jenis yang parasit pada ikan yaitu Rhincalanus. Dengan sedikit informasi ini semoga “ikan” bukanlah satu-satunya jawaban yang dapat kita berikan berkaitan dengan seputar pertanyaan biota yang paling banyak hidup di laut, dan sudah tentu dibutuhkan studi pustaka yang lebih detail untuk mengenal lebih dekat kehidupan plankton.


Publikasi: Ambon Ekspres, 4 Juni 2010

KETIKA IKLIM “KURANG BERSAHABAT”

Oleh:

Hanung A. Mulyadi

Staf Peneliti LIPI

Akhir-akhir ini banyak terdengar berita tentang “anomali” (baca: penyimpangan, keanehan) iklim yang terjadi di banyak Negara yang tersebar di berbagai belahan dunia disertai dengan meningkatnya kejadian bencana alam. Sebut saja banjir di Australia tepatnya di Quensland dan sekitarnya yang terjadi beberapa pekan terakhir, kemudian banjir bandang disertai tanah longsor juga terjadi di Negara Brazil. Di Indonesia sendiri, rangkaian bencana alam yang berkaitan dengan iklim atau akibat lain boleh jadi masih terkait dengan adanya penyimpangan kondisi iklim sampai saat ini masih saja berlangsung. Dan, semoga saja kejadian ini bisa cepat berlalu sehingga tidak memberi dampak negatif jangka panjang terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat di seluruh dunia, juga termasuk di negara Indonesia tentunya.

ANOMALI IKLIM

Jika menilik rangkaian kejadian yang telah terjadi sepanjang tahun 2010, banyak fenomena yang terkait adanya penyimpangan iklim dari berbagai belahan negara sehingga diduga ikut berkontribusi terhadap meningkatnya kejadian bencana alam seperti banjir besar di Australia, Thailand dan Pakistan, tanah longsor, turunnya salju tidak pada musimnya, cuaca dingin yang ekstrim di eropa, dimana hal tersebut hanya sedikit ilustrasi dari sekian banyak kejadian terkait anomali iklim. Disadari atau tidak, sepanjang tahun 2010 kemarin, kita merasakan kenaikan intensitas terjadinya hujan. Dimana kalau biasanya kita merasakan tingginya curah hujan pada bulan Desember dan Januari, maka hal tersebut intensitasnya meningkat menjadi hampir sepanjang tahun terjadi hujan termasuk pada bulan Maret sampai Agustus yang biasanya terjadi musim kemarau.

Menurut sumber dari BMKG, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya anomali iklim di Indonesia diantaranya adalah peningkatan suhu permukaan air laut yang berpengaruh terhadap adanya potensi hujan di sebagian besar wilayah Indonesia; dan pemanasan global (global warming). Sehingga sepanjang tahun 2010 kemarin, di Indonesia mengalami perubahan iklim yang tidak menentu dimana secara umum berpotensi memberi dampak terhadap masyarakat Indonesia dan khususnya bagi para petani serta nelayan yang sangat bergantung dari faktor iklim.

POTENSI DAMPAK

Adanya anomali iklim berpotensi memberi dampak baik secara langsung (jangka pendek) maupun tidak langsung (jangka panjang) terhadap kehidupan masyarakat kita. Betapa tidak, dengan adanya perubahan iklim yang tidak menentu maka masyarakat yang mata pencahariannya sangat bergantung pada kondisi iklim akan menerima dampak langsung adanya penyimpangan iklim ini. Contohnya adalah para petani dan nelayan, dimana dengan kondisi iklim yang tidak menentu akan mempengaruhi pendapatan mereka.

Bagi petani, kondisi ini akan berpengaruh terhadap hasil pertanian dan perkebunan. Hal ini dimulai dari bergesernya musim tanam dikarenakan kondisi iklim (munculnya musim kemarau basah), berlanjut pada tanaman perkebunan seperti cabe, kopi, sayur dan beberapa komoditas ekonomis lainnya. Hal ini akan mempengaruhi produktivitas hasil produksi pertanian, karena terganggunya pola penyerbukan (penyerbukan tidak sempurna) maka kopi yang dapat dipanen akan berkurang. Begitu juga untuk produk perkebunan seperti cabe dan sayur-sayuran, dimana kita sempat merasakan lonjakan harga yang cukup signifikan untuk komoditas yang satu ini.

Bagi nelayan, adanya penyimpangan iklim sangat dirasakan betul oleh beliau-beliau yang harus berjuang mengarungi laut dan mensiasati besarnya terjangan ombak guna memperoleh hasil tangkapan yang optimal. Bahkan demi mencapai daerah tangkapan (fishing ground) ikan-ikan tertentu, tidak jarang dari mereka mengabaikan adanya peringatan kondisi cuaca yang kurang bersahabat dari BMKG atau instansi terkait. Situasi seperti ini tidak hanya berhenti sampai disini dimana meski sedikit bertaruh, hasil tangkapan yang diharapkan pun terkadang juga tidak banyak. Seolah-olah kelompok ikan juga enggan untuk menghampiri jaring nelayan yang sudah ditebar. Hasilnya dapat ditebak, jumlah tangkapan sedikit maka harga di pasar akan melonjak naik.

Contoh lain aktivitas yang dipengaruhi oleh kondisi iklim adalah transportasi. Sudah menjadi kewajiban setiap perusahaan yang bergerak dibidang transportasi sektor publik bahwa keselamatan penumpang adalah hal yang utama baik untuk transportasi darat, laut maupun udara. Kita tentu masih ingat kabar dari beberapa negara di eropa beberapa pekan terakhir dimana pihak maskapai penerbangan membatalkan penerbangan karena kondisi cuaca ekstrim. Kejadian terkait cuaca buruk dan gelombang besar yang terjadi di sebagian wilayah perairan Indonesia juga terjadi dan menyebabkan terganggunya jadwal penyeberangan dan pelayaran kapal.

ALTERNATIF SOLUSI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Adanya penyimpangan iklim yang dapat berpotensi memberi dampak negatif baik langsung (jangka pendek) maupun tidak langsung (jangka panjang) memerlukan alternatif solusi. Langkah awal yang menjadi skala prioritas dari alternatif solusi adalah penanganan yang bersifat mendesak (urgent) misalnya memberi skala prioritas utama untuk petani dan nelayan yang terkena dampak langsung adanya fenomena anomali iklim di Indonesia.

Boleh jadi, pencanangan gerakan nasional menghadapi anomali iklim oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Desa Lebo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur bersama masyarakat dan dinas terkait pada tanggal 14 Januari 2011 kemarin menjadi langkah awal yang patut diapresiasi secara positif. Meski demikian, hal yang tidak kalah penting adalah implementasi teknis yang harus dilakukan guna mendukung kebijakan publik tersebut. Badan litbang pertanian, perikanan dan instansi terkait bersama-sama masyarakat secara aktif mencari solusi terbaik dalam menghadapi adanya anomali iklim yang tengah berlangsung saat ini. Sebagai contoh adalah melalui pemuliaan tanaman seperti cabe yang tahan busuk, padi yang varietasnya lebih tahan terhadap kondisi iklim saat ini bahkan jika memungkinkan melakukan pemuliaan terhadap ikan ekonomis tertentu melalui rekayasa genetika sehingga dihasilkan produk perikanan yang lebih unggul dengan masa produksi pendek (cepat panen). Dan untuk selanjutnya, setelah melalui serangkaian uji dapat dipublikasi dan diimplementasikan kepada masyarakat luas sebagai salah satu bentuk kebijakan publik yang bermanfaat dalam menghadapi kondisi iklim yang kurang bersahabat.


Publikasi: Ambon Ekspres, 31 Januari 2011